STOP RUU: MELANGGAR KONSTITUSI, MEMARJINALKAN RAKYAT DAN MEMISKINKAN PETANI

serikatpetanirembang.com -
Rilis Serikat Petani Indonesia Aksi Hari Tani Nasional Gedung DPR-RI, 24 September 2019.

Berdasarkan Keputusan Presiden Sukarno No 169/1963 pada setiap tanggal 24 September diperingati sebagai Hari Tani. Tanggal itu diputuskan karena memiliki sejarah dimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai dasar pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia disahkan. UUPA 1960 bertujuan untuk merombak struktur agraria Indonesia yang timpang dan sarat akan kepentingan sebagian golongan. Oleh karena itu, UUPA 1960 memberikan penekanan pada pentingnya sumber-sumber agraria digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa, sebagaimana amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).

Namun menjelang periode DPR-RI 2014-2019 berakhir, terdapat Rancangan Undang-Undang (RUU) yang kurang sejalan dengan UUD 1945 dan UUPA 1960. Ada lima RUU yang memiliki kaitan langsung dengan kehidupan petani dan masyarakat perdesaan, yakni; RUU Pertanahan, RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), RUU Perkoperasian, dan RUU Karantina Hewan Ikan Tumbuhan, serta RUU Sumber Daya Air yang baru saja disahkan DPR-RI. Sebelumnya Serikat Petani Indonesia (SPI) telah memberikan pandangan dan sikap kelima RUU tersebut kepada DPR-RI. 

RUU Pertanahan

SPI berpandangan RUU Pertanahan harus memuat prinsip-prinsip keadilan agraria sebagaimana tertuang di dalam penjelasan umum UUPA 1960, yakni: (1) asas kenasionalan; (2) hak menguasai negara; (3) pengakuan terhadap hak ulayat dan hak masyarakat hukum adat; (4) fungsi sosial hak atas tanah; (5) hubungan antara warga negara dengan tanah serta larangan terhadap kepemilikan warga negara asing atas tanah; (6) kesamaan hak atas tanah bagi pria maupun wanita; (7) pelaksanaan land reform; dan (8) perencanaan dalam peruntukan, penguasaan, dan pemilikan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalammnya.

SPI memandang dan bersikap substansi dan batang tubuh dari RUU Pertanahan (draf hasil pembahasan Panja RUU Pertanahan tanggal 21-23 Juni 2019) belum memuat prinsip tersebut secara utuh dan beberapa pasal bertentangan dengan konstitusi dan UUPA 1960. Hal itu dapat dilihat dari pasal yang mengatur tentang hak milik atas satuan rumah susun untuk orang asing, hak pengelolaan yang mengurangi hak menguasai negara, membuka peluang selebar-lebarnya terhadap penguasaan tanah, belum menyelesaikan berbagai persoalan sektoral dalam pengaturan terkait tanah di Indonesia, bank tanah atau lembaga pengelola tanah dan sanksi-sanksi yang memberatkan petani namun menguntungkan korporasi.

RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB)

Terdapat beberapa ketentuan di dalam RUU SBPB yang dinilai memberatkan petani kecil dan bertentangan dengan UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012. RUU SBPB menyebutkan bahwa petani kecil harus melapor kepada pemerintah dalam setiap kegiatan pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik. Ketentuan tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012, yang memperbolehkan dan memberi kebebasan ke pada petani untuk mencari dan mengumpulkan plasma nutfah dan/atau benih. SPI menilai justru tanggung jawab negara, dalam hal ini peran pemerintah, yang seharusnya proaktif dalam melakukan kegiatan pendataan.

RUU SBPB juga mengatur batas edar varietas hasil pemuliaan petani, yakni terbatas pada 1 (satu) wilayah kabupaten atau kota. Ketentuan ini bertentangan dengan Putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012, di mana petani kecil memiliki kebebasan dan diperbolehkan mengedarkan varietas hasil pemuliaan kepada komunitasnya. Komunitas, sebagaimana yang dimaksud MK adalah sesama petani, yang berada di dalam wilayah hukum Indonesia.

Kemudian RUU SBPB mengatur ketentuan mengenai pengedaran produk hasil rekayasa genetika. SPI menilai hal ini tidaklah cukup, mengingat produk rekayasa genetika memiliki dampak bagi hajat hidup orang banyak dan keselamatan alam. RUU SBPB bahkan memiliki ketentuan mengenai sanksi administratif yang menjurus pada kriminalisasi petani, terkait dengan kegiatan perorangan dalam pencarian dan pengumpulan sumber daya genetik tanpa izin. Lagi-lagi hal ini bertentangan dengan Putusan MK terhadap UU Sistem Budidaya Tanaman.

RUU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan

SPI memandang motif dari revisi UU Nomor 16 tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan lebih kepada untuk memfasilitasi arus keluar masuknya komoditas perdagangan antar negara. Hal ini selaras dengan dasar pembentukan RUU Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan yang merupakan konsekuensi dari keikutsertaan Indonesia dalam perjanjian-perjanjian internasional. 

SPI berpandangan pemerintah Indonesia seharusnya lebih berfokus kepada untuk meninjau kembali beberapa perjanjian-perjanjian perdagangan internasional, yang justru merugikan rakyat Indonesia, khususnya petani kecil dan masyarakat perdesaan. Hal ini dapat dilihat dari rentetan kekalahan Indonesia di WTO (Organisasi Perdagangan Dunia), yang mengharuskan Indonesia untuk merevisi peraturan terkait impor beberapa komoditas.

RUU Perkoperasian

SPI memandang substansi dari RUU Perkoperasian semakin menjauh dari prinsip-prinsip gerakan koperasi, yakni perihal kemandirian, sekaligus tidak memperkuat posisi koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pasal dalam RUU Perkoperasian yang terlalu berfokus pada bentuk koperasi simpan pinjam, dan tidak menaruh perhatian khusus terhadap bentuk-bentuk koperasi lainnya, seperti koperasi produksi. SPI berpandangan RUU Perkoperasian seharusnya memberi perhatian terhadap koperasi produksi terutama produksi pertanian hasil dari petani kecil dan masyarakat pedesaan di Indonesia di berbagai wilayah Indonesia, sehingga dapat menjadi fondasi bagi tercapainya kedaulatan pangan di Indonesia.

RUU Perkoperasian memiliki beberapa ketentuan yang bersifat teknis, seperti pengaturan sisa hasil usaha yang menjadi ranah dari internal masing-masing gerakan koperasi. Tidak hanya itu, RUU Perkoperasian juga mengatur mengenai pembentukan wadah tunggal gerakan koperasi, ke dalam Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), bahkan sampai mengatur mengenai masa jabatan dari ketua Dekopin;

UU Sumber Daya Air

UU Sumber Daya Air pada akhirnya disahkan pada Rapat Paripurna DPR-RI hari Selasa (17/09). Sebelumnya Pengesahan RUU SDA sempat tertunda dalam rapat paripurna DPR-RI pada Selasa (03/09). DPR-RI dalam hal ini menyebutkan mereka sudah mengacu kepada substansi dari Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 yang sebelumnya membatalkan UU 7/2004 tentang Sumber Daya Air.

Akan tetapi, SPI berpandangan masih terdapat permasalahan di dalam UU Sumberdaya Air yang telah disahkan. UU Sumber Daya Air yang baru tidak ada mencantumkan UUPA 1960 sebagai bagian menimbang dan konsideran. Hal ini menjadi penting mengingat UUPA 1960 merupakan dasar bagi pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia, dan seharusnya dijadikan sebagai acuan perumusan UU Sumber Daya Air. 

UU SDA yang disahkan tidak mencantumkan kata ‘kewajiban’, dan memilih kata ‘mengupayakan’, terkait penyediaan air untuk pemenuhan pertanian rakyat di dalam ketentuannya. Hal ini terlihat kontradiktif apabila dikaitkan dengan komitmen pemerintah untuk menjamin terpenuhinya hak rakyat atas air, khususnya bagi petani kecil dan masyarakat pedesaan yang sangat rentan akan bencana kekeringan.

Sementara itu, UU SDA memenangkan korporasi dalam hak pengelolaan air. Meskipun menyebutkan hak rakyat atas air merupakan prioritas utama, nyatanya izin usaha bagi pihak swasta, khususnya mengenai air minum dalam kemasan tidak terusik. Padahal potensi terjadinya konflik antara petani dan masyarakat pedesaan dengan perusahaan air minum dalam kemasan sangat tinggi di Indonesia, seperti kasus Aqua di Padarincang, Kab. Serang, Provinsi Banten. Pemerintah seharusnya bersikap tegas akan hal ini, dan menjadikan hak rakyat atas air sebagai prioritas utama.

Kontak Lebih Lanjut:

Henry Saragih, Ketua Umum SPI (+62 811-655-668)

Agus Ruli Ardiansyah, Sekretaris Umum SPI (+62 812-7616-9187)
Share:

Tunda Pengesahan RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (RUU SBPB) Yang Menjerat Petani

serikatpetanirembang.com - Jakarta, 23 September 2019 - Petani akan menerima *kado pahit* jika DPR tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang Sistem Budidaya Pertanian yang rencananya akan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 24 September tepat pada peringatan Hari Tani Nasional. Padahal, secara substansi Rancangan Undang-Undang ini sangat merugikan dan berpotensi mengkriminalisasi petani.

RUU ini merupakan revisi dari Undang-Undang No.12 tahun 1992 . Tentang Sistem Budi Daya Tanaman. Sebelumnya, di tahun 2012, Koalisi LSM telah mengajukan permohonan Uji Materi UU Sistem Budidaya Tanaman kepada Mahkamah Konstitusi RI (MK). MK kemudian mengabulkan permohonan dengan putusan Nomor 99/PUU-X/2012 yang menyatakan Pasal 9 ayat (3) dan Pasal 12 ayat (1) UU Sistem Budidaya Tanaman bertentangan dengan UUD 1945, dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. MK berpendapat bahwa pasal-pasal itu dinilai diskriminatif dan dijadikan alat untuk mengkriminalisasikan petani pemulia tanaman dalam melakukan pencarian, mengumpulkan dan mengedarkan benih. Putusan MK yang mengabulkan uji materi atas UU SBT berdampak positif bagi perbenihan nasional dan memberikan ruang bagi petani dalam melakukan pelestarian dan pemuliaan benih.

Atas dasar pendapat itu, MK memutuskan bahwa perorangan petani kecil boleh melakukan kegiatan pencarian dan pengumpulan plasma nutfah bagi diri sendiri maupun komunitasnya. Perorangan petani kecil juga boleh mengedarkan varietas hasil pemuliaan untuk komunitas sendiri tanpa harus terlebih dahulu dilepas oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Kementerian Pertanian RI.

Kegiatan Pencarian, pengumpulan dan penggunaan plasma nutfah/sumber-sumber genetik untuk kegiatan pemulian tanaman dan kegiatan budidaya pertanian adalah bagian tradisi turun temurun yang melekat dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan petani dan pertanian. Kegiatan tersebut sudah dilakukan oleh petani sejak manusia mengenal bercocok tanam, bahkan sebelum adanya korporasi.

Upaya untuk mengatur, membatasi, bahkan pemidanaan bagi petani, khususnya petani kecil, sebagaimana yang diatur dalam Rancangan UU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) yang akan disahkan. Hal ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap tradisi pertanian itu sendiri, yang melekat dalam kehidupan petani.

Patut diduga bahwa akan disahkannya RUU SBPB tersebut adalah upaya memberi jalan bagi korporasi-korporasi benih dan pertanian untuk menguasai sumber-sumber genetik dan benih-benih yang masih ada ditangan petani kecil. Hal ini juga akan membuat petani tidak berdaulat di tanahnya sendiri, hanya sebagai buruh dan subordinat dari korporasi benih dan pertanian. Pada akhirnya akan mengacam kedaulatan negara Indonesia sendiri (NKRI).

Kami sangat menyayangkan, bahwa Revisi UU Sistem Budidaya Tanaman yang kemudian diubah menjadi RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB) yang semula diharapkan dapat menguatkan dan melindungi petani- yang selama ini menjadi tulang punggung penyedia sumber pangan negeri ini- substansinya justru sangat mengebiri hak-hak petani.

Sejumlah pasal bermasalah dalam RUU SBPB ini mewajibkan petani kecil untuk melapor atau mengajukan ijin kepada Pemerintah Daerah yang berwenang dan dilanjutkan ke pemerintah pusat dalam melakukan pencarian, pengumpulan dan pelestarian sumber daya genetik. RUU ini juga bertentangan dengan keputusan MK dengan mewajibkan petani kecil melapor kepada pemerintah daerah sebelum melakukan pelepasan benih. Lebih lanjut RUU SBPB ini juga membuka ruang bagi pelepasan tanaman rekayasa genetik di Indonesia.

RUU ini juga memberikan karpet merah kepada korporasi benih multinasional untuk mengembangkan usahanya dan mengancam merampas sumber daya hayati benih-benih lokal dengan hanya memberi perlindungan pada varietas yang seragam, stabil tanpa melihat kekayaan ragam keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia.

Tercatat, ada 22 Pasal kontroversial dalam Revisi UU ini yang mengkebiri hak-hak petani dan menegasikan petani sebagai subjek dalam segala hal yang berkaitan dengan pertanian. Revisi UU ini di design oleh DPR dan Pemerintah bukan untuk melindungi petani kecil. Hak-hak petani kecil semakin dikerdilkan. Justru, malah mengakomodir kepentingan pelaku usaha atau korporasi multinasional. Semangat liberalisasi dalam revisi UU ini sama seperti semangat yang ada dalam ketentuan UPOV 1991. Karena, sama-sama mendorong kepentingan korporasi multinasional dan mengkebiri hak-hak petani kecil.

Hendaknya, RUU SBPB sejalan dengan Konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan berdasarkan 10 prinsip mendasar yaitu :
1. Prinsip kedaulatan pangan, adalah hak setiap bangsa dan rakyat untuk menentukan pangannya secara mandiri, meliputi alat dan sistem produksi serta pemasaran dibidang pertanian, peternakan dan perikanan untuk menghasilkan pangan tanpa tergantung dari kekuatan pasar internasional;
2. Prinsip keterlibatan petani dan organisasi petani, yakni pembentukan kebijakan yang pro-petani, dalam aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi kebijakan secara egaliter tanpa diskriminatif atau mengistimewakan satu kelompok tertentu;
3. Prinsip non-eksploitasi, UU SBPB tidak boleh menjadi sarana eksploitasi manusia terhadap manusia atau manusia terhadap alam;
4. Prinsip Reforma Agraria, negara menjamin hak atas tanah, air dan wilayah atau teritori kepada petani;
5. Prinsip agroekologi, adalah prinsip yang berbasis kearifan lokal, atau penerapan teknologi tepat guna berasas kerakyatan dengan menggunakan sebesar-besarnya sumber daya lokal; pelestarian lingkungan hidup dengan mencegah pencemaran tanah, air, udara, serta pencemaran benih; mendorong biodiversitas dan menolak monokultur; menyelamatkan plasma nutfah; konservasi air; mendukung keberlanjutan kesuburan tanah dan senantiasa menghasilkan produksi pangan yang sehat; menghargai diversifikasi pangan; dan pola pertanian terpadu keanekaragaman produk termasuk ternak dan perikanan;
6. Prinsip perlindungan negara, dimana terdapat proteksi harga dan perlindungan dari pasar bebas; perlindungan tanah pertanian; perlindungan terhadap pemuliaan, pengembangan dan penyebaran benih; penyediaan modal produksi untuk petani; mencegah over-produksi yakni berlebihnya produk hasil pertanian karena tidak ada regulasi yang membatasi jumlah produksi sehingga berpotensi merusak nilai dan harga produk tersebut; pencegahan dan penanggulangan kegagalan atau penyusutan hasil panen; hingga penyediaan teknologi pendukung pasca panen atau pengolahan hasil pertanian;
7. Prinsip kesetaraan gender, yakni pengakuan kesetaraan yang responsif bagi petani dan pelaku budidaya tanaman;
8. Prinsip pemenuhan kebutuhan pasar lokal dan domestik atau dalam negeri, yakni pengutamaan terhadap pemenuhan produk yang dibutuhkan di tingkat lokal, wilayah dan nasional;
9. Prinsip hak asasi petani, upaya ini dalam rangka memenuhi dan melindungi hak-hak asasi petani sesuai dengan artikel 9 Traktat Internasional ITPGRFA (International Tretaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture dimana Indonesia telah meratifikasinya tahun 2004)
10. Perlindungan sumber daya genetik-ekosistem, pengetahuan lokal, perlindungan petani/masyarakat adat dan lokal, perlindungan untuk pembagian keuntungan yang adil seperti diamanatkan dalam Konvensi Keragaman Hayati CBD dan Nagoya Protokol.

Dengan melihat hal-hal di atas dan untuk melindungi petani dan demi kepentingan kedaulatan pangan dan kedaulatan Negara, maka Kami koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Kedaulatan Benih Petanin dan Pangan yang selama ini melakukan kerja-kerja mendampingi petani meminta kepada pemerintah dan DPR untuk:

PERTAMA : MENUNDA PENGESAHAN RUU SBPB

KEDUA : RUU SBPB harus dikaji ulang dan dikonsultasi publikkan secara luas dengan melibatkan semua komponen masyarakat Petani dan Kelompok masyarakat Sipil
====

NARA HUBUNG:
M. Rifai (081332933581)
Dewi hutabarat (081381108822)
====

*Koalisi Kedaulatan Benih Petani dan Pangan:*

Forum Desa Mandiri Tanpa Korupsi (DMTK)
Koperasi Benih Kita Indonesia (KOBETA)
Forum Benih Lokal Berdaulat (BLB)
Aliansi Petani Indonesia (API)
Serikat Petani Indonesia (SPI)
Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
Koalisi Rakyat Untuk Hak Atas Air (KRuHA)
Yayasan KEHATI
FIELD Indonesia
Indonesia for Global Justice (IGJ)
Aliansi Organis Indonesia (AOI)
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
Yayasan Bina Desa
Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT)
Koalisi Daulat Benih Petani
Mari Sejahterakan Petani (MSP)
Lab. Agensia Hayati TANETE Institute
Kediri Bersama Rakyat (KIBAR)
FIAN Indonesia
Share:

Hari Tani Nasional 2019: Momentum Presiden Jokowi Lanjutkan Pelaksanaan Reforma Agraria Untuk Kedaulatan Pangan & Penegakan Hak Asasi Petani di Indonesia

serikatpetanirembang.com - JAKARTA. Tanggal 24 September setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Tani Nasional (HTN). Hal ini mengingat 59 tahun yang lalu, pemerintah Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai dasar pengaturan sumber-sumber agraria di Indonesia, yang sebelumnya masih menggunakan hukum buatan pemerintah kolonial Belanda.
UUPA 1960 bertujuan untuk merombak struktur agraria Indonesia yang pada saat itu timpang dan sarat akan kepentingan kolonial. Oleh karena itu, UUPA 1960 memberikan penekanan pada pentingnya sumber-sumber agraria dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa.
“Penetapan HTN berdasarkan keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus 1963 No 169/1963 menandakan pentingnya peran dan posisi petani sebagai entitas bangsa,” kata Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih di Jakarta hari ini (22/09).
Henry menyampaikan, selama lima tahun pemerintahan Jokowi, pelaksanaan reforma agraria, penyelesaian konflik agraria, dan berbagai program pertanian lain nya untuk kedaulatan pangan sudah berjalan, namun perlu lagi upaya untuk peningkatan yang signifikan.
“Oleh karena itu HTN ini bisa dijadikan momentum bagi Presiden Jokowi di masa pemerintahan yang kedua ini untuk melanjutkan komitmennya melaksanakan reforma agraria, mendistribusikan tanah kepada petani kecil dan petani tak bertanah, menyelesaikan konflik-konflik agraria yang masih banyak terjadi menimpa rakyat di berbagai daerah,” katanya.
“Kita juga mengapresiasi turunnya persentase penduduk miskin di daerah, dari sebelumnya 13,10 persen (15,54 juta orang) pada September 2018, menjadi 12,85 persen (15,15 juta orang) pada Maret 2019,” lanjutnya.
Tunda Pengesahan Rancangan Undang-Undang Pertanahan
Meski demikian, Henry menyampaikan pada masa akhir jabatan Presiden Jokowi terdapat banyak Rancangan Undang-Undang (RUU) yang sedang dibahas di DPR saat ini yang kurang sejalan untuk lanjutkan komitmen tersebut. Ada lima RUU yang memiliki kaitan langsung dengan kehidupan petani dan masyarakat pedesaan; RUU Pertanahan, RUU Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan (SBPB), RUU Perkoperasian, dan RUU Karantina, RUU Sumber daya air yang baru saja disahkan DPR.
Upaya DPR-RI untuk mengesahkan peraturan tersebut terkesan sangat terburu-buru, hal ini mengingat banyaknya pasal-pasal yang diatur dalam RUU-RUU tersebut, justru bertentangan dengan kepentingan petani dan masyarakat pedesaan saat ini.
“SPI telah memberikan pandangan dan sikap terkait RUU tersebut. Dalam RUU Pertanahan misalnya, beberapa ketentuan yang diatur dalam RUU tersebut justru bertentangan dengan amanat UUPA No. 5 Tahun 1960. Seperti soal kewenangan hak pengelolaan, dan kepemilikan bagi orang asing, serta beberapa pasal lainnya. Apabila RUU Pertanahan dipaksakan untuk disahkan, hal ini justru akan mempersulit pelaksanaan reforma agraria dan penyelesaian konflik agraria yang menjadi prioritas dari pemerintahan Joko Widodo saat ini,” tegas Henry.
Menyelaraskan dengan UNDROP
Henry mengingatkan selain diselaraskan dengan UUPA 1960 sebagai dasar pengaturan agraria di Indonesia, Pemerintah Indonesia juga dapat mendorong agar RUU yang tengah dalam pembahasan oleh DPR saat ini mengacu kepada Deklarasi PBB tentang Hak Asasi Petani dan orang yang Bekerja di Pedesaan (UNDROP).
“UNDROP sudah ideal karena isinya mengatur perlindungan dan pemberdayaan hak-hak petani dan orang yang bekerja dipedesaan. DPR harus menjadikan UNDROP sebagai acuan dalam perumusan peraturan mulai dari tingkat nasional hingga kebijakan di tingkat lokal,” tegasnya.
Hal selanjutnya yang ditekankan Henry adalah mengenai keikutsertaan Indonesia dalam berbagai perjanjian dagang global yang harus ditinjau ulang. Hal ini mengingat dampak dari berbagai perjanjian dagang tersebut justru memarjinalkan kehidupan ekonomi petani dan kedaulatan pangan di Indonesia.
“Sebagai contoh: Indonesia mendapatkan gugatan dari Brazil di WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) terkait kebijakan impor unggas, yang dinilai sebagai bentuk proteksi Indonesia terhadap sektor perunggasan nasional. Gugatan tersebut dikabulkan, dan berimplikasi kepada diubahnya beberapa regulasi di Indonesia terkait perunggasan,” tegasnya.
“Pemerintah Indonesia seharusnya belajar banyak dari bagaimana dampak dari perjanjian-perjanjian dagang yang sebelumnya telah diratifikasi, yang tidak memberikan keuntungan bagi petani Indonesia,” sambungnya.
Pertanian Agroekologi
Henry juga menggarisbawahi mengenai bencana kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia, seperti di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan.
Henry mengemukakan, SPI mendukung upaya pemerintah untuk mengambil langkah tegas mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan, terkhusus menangani korporasi yang menjadi pelaku pembakaran hutan.
SPI mendorong pemerintah melakukan transformasi model pertanian Indonesia menjadi pertanian ekologis, model pertanian yang tidak merusak alam, dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan pangan national, untuk kedaulatan pangan. Meninggalkan cara-cara bertani yang merusak alam dan hanya berorientasi untuk memenuhi kepentingan pasar internasional yang saat ini berada pada ambang krisis,” tuturnya.
“SPI telah memulainya dengan mendorong petani anggotanya untuk menanam tanaman tidak tergantung kepada pasar global dan mudah terpapar kebakaran, lebih mendorong pertanian agroekologis yang ramah lingkungan untuk mewujudkan kedaulatan pangan nasional,” lanjutnya.
Aksi Nasional
Henry menambahkan, dalam peringatan HTN ini telah menyerukan semua anggota SPI untuk melakukan aksi nasional, pengerahan massa tani.
“Di Jakarta kita akan melakukan aksi ke DPR mendesak penundaan RUU yang masih bermasalah seperti yang saya sebutkan di atas,” tambahnya.
Aksi simpatik pemuda tani SPI Sumatera Barat saat acara car free day di Padang (22/09). Aksi ini adalah rangkaian aksi peringatan Hari Tani Nasional ke-59 yang dilaksanakan SPI di setiap provinsi di Indonesia
“Mulai hari ini, petani SPI juga sudah melakukan aksi seperti di Padang dan Medan, merayakan Hari Tani Nasional, hari rayanya kaum tani se-Indonesia,” tutupnya.
Kontak selanjutnya :
Henry Saragih – Ketua Umum SPI – 0811 655 668

Sumber: https://spi.or.id/hari-tani-nasional-2019-momentum-presiden-jokowi-lanjutkan-pelaksanaan-reforma-agraria-untuk-kedaulatan-pangan-penegakan-hak-asasi-petani-di-indonesia/


Share:

Entri yang Diunggulkan

Pasar Kramat Desa Nglojo Segera Launching

www.serikatpetanirembang.com - Pasar kramat Nglojo merupakan suatu pasar wisata tradisional yang mempunyai konsep mengangkat tema ...

Berita Pertanian

Total Pageviews

Label

Gallery Pertanian

Dokumentasi Berita